Page of

Sabtu, 06 April 2013

Seperti untuk Tanah Airku

Ya, mereka berkoar.
Menggembar-gemborkan slogan dengan nada membakar-bakar,
dengan mata menyala-nyala.

Ya, mereka berjanji.
Tapi tak pernah ingat janjinya
bahkan sedetik setelah mengucapkan.

Ya, mereka berikrar.
Tapi tak tahu untuk apa
Karena toh tak akan dilakukan.

Ya, merekalah yang naik Kereta labu
dengan kusir TIKUS yang disulap.
Seperti di dongeng 'Cinderella' yang dibacakan Ibu tiap malam.

Ya, merekalah yang berjas kaku
merekalah yang seharusnya melindungi,
tapi malah menyembur jigong di negeri sendiri,
yang merdeka,
bahkan jauh sebelum 1945.

Hidangan baru

Aku seperti mengunyahmu
mengunyah rasa yang lama
dihidangan besok pagi,
hambar.

Aku seperti serba tahu rasa gurih hidangan besok pagi
pasti sama,
pahit.

Aku tersedak dihidangan besok pagi
ternyata Sang Koki beri bumbu lain
rasanya berbeda,
manis.

Jangan tanya aku lagi hidangan kemarin.
Aku lupa mengecap dengan lidah yang mana.
Aku lupa rasanya.

Untuk-Nya.

Aku ini bocah,
yang bodohnya merindukan pelukan erat
disela ketiak hangatmu.

Aku pulang kerumah,
tapi bukan ke bangunan itu.
Tapi ke kamu, yang menghujamku dengan beribu-ribu serbuan kecup.

Aku ini menabung,
tapi bukan menabung uang.
Malah menabung mimpi
menabung kebahagiaanmu
melihat toga,
menggantung di kepala anak sulungmu.
Aku ingin mengulang waktu. Merekatlah ia disela rekah, tawa. Aku ingin ulang waktu. Hingga bagian yang tak kau ingat.

Rabu, 06 Maret 2013

Prosesku yang 'liar' yang lebih mirip dengan auman serigala.


Atas dasar permintaan seorang teman, aku menulis lagi.
Kenapa aku selalu rindu memarut luka tiap berhubungan dengan pena dan kertas dengan sastra didalamnya? Jangan. Jangan tanya itu karena aku, Parasdya Wulan Anondinni yang hampir merebut angka 17pun tak tahu jawabannya.

Banyaknya draft cerpen, membuat aku sesekali membuka laptopku untuk sekedar mampir dan membaca-baca lagi wangi bakuan kata-kata yang sengaja terangkai berlembar-lembar. Dalam proses'nya,' aku diingatkan dengan kata-kata lugu seorang penulis favoritku. Yang menggambarkan tiap-tiap detail tokohnya seperti sedang membuat detail karakter dipermainan the sims. Aku juga selalu diingatkan dengan sehalus makian sastra yang kental tentang Indonesia yang orang bilang ini negara kacau dan pecah belah. Hahahaha dasar otak udang! Masih ditanah Indonesia kok maki-maki Indonesia? Dengan dengung, kadang aku menangisi malangnya hukum yang digembar-gemborkan. Mau jadi acuan, kok malah kalah sama kertas? Dia cuma kertas yang bernominalkan!! Ah..tapi mau dibuat gelisah, kadang membicarakan lumpuhnya hukum, tak lagi menarik karena topik ini justru malah lebih sering dibicarakan sampai lemas, tanpa lagi memikirkan bagaimana mengatasinya. Dan.. aku tak lagi menulis tentang Indonesia dalam prosesku.
Kadang, menurutku, lebih jelas apabila aku menulis berlembar masalah sepasang kekasih yang dimadu fana tiap harinya. Sepasang bocah ber-rok abu-abu yang mengapit rindu dikala ruang menghampar jelas. Hahaha, konyol! Kadang aku fkir, rindu itu tak bisa dihitung dengan rumus yang bisa diketahui banyaknya, ditambah penjelas satuan menguntit dibelakangnya. Atau bisa dihitung dengan atom-atom-atom tolol dieksak yang membuat aku masuk kelas sosial dan membuat aku, harus merubah lagi mimpi-mimpi yang dengan mudahnya terlepas atasnama sosial. Bodoh! Selain Indonesia, ini juga alasan bagus untuk aku menangis tiap aku mengingatnya. Mereka fikir, tiap-tiap kepala yang masuk eksak, jelas-jelas atas kemampuan mereka? Demi Tuhan, tidak! Tidak sama sekali. Dan dengan gobloknya, lintas jurusan itu diperbolehkan. Pantas saja guru eksak selalu menghipnotis siswanya bahwa mereka JAUH LEBIH UNGGUL dibanding kelas sosial. Pantas saja tiap orang bodoh diluar sana bertanya aku masuk jurusan apa, dan aku jawab dengan jawaban yang sebenarnya, mereka terlihat seperti menaikkan alis tanpa lagi menengok kearahku.
Apa lagi yang perlu dibenahi diprosesku? Semua cerita terlihat menarik dan patut ditertawakan karena ketololannya. Hukum, Negara, Sepasang kekasih yang tiap detiknya dilumat kata rindu, sampai tentang pendidikan, semuanya patut digoresan dalam prosesku. Yah....lihat nanti. Kalau saja hukum saja masih miris, kalau hukum saja masih layak dimaki, bolehkan aku, penonton drama yang lebih mirip banyolan ini ikutan memaki prosesku yang goblok dan jauh dari rasa bangga? HAHAHAHAA

Sabtu, 08 September 2012

Tanpa judul yang layak-

Seorang anak kecil mengotori tangannya
dengan receh dan uang seribu rupiah yang sobek sana-sini
kulit arinya bermanjakan asap
baju rombengnya berselimutkan debu
yang tak bersisa waktu belanja baginya
yang sulit terfikirkan punya selembar kertas apa lagi bersekolah
Sedang kita?
Seorang anak pengotori mulutnya
dengan kata kotor dan makian biadab
rambut kita bermandikan wewangian
jangankan waktu belanja, waktu bermaksiatpun kita punya seumur hidup
apa lagi selembar, bergunduk kertas sampai aku loakkan

Havent inspiration like yesterday:'

Kau buatkan aku rumah dan suruh aku tertidur didalamnya
Matahari beringsut memerah-menguning-dan memerah lagi
Tapi aku tetap disini.
Nyenyak dan pulas