Atas dasar permintaan seorang teman, aku menulis lagi.
Kenapa aku selalu rindu memarut luka tiap
berhubungan dengan pena dan kertas dengan sastra didalamnya? Jangan. Jangan
tanya itu karena aku, Parasdya Wulan Anondinni yang hampir merebut angka 17pun
tak tahu jawabannya.
Banyaknya draft cerpen, membuat aku sesekali
membuka laptopku untuk sekedar mampir dan membaca-baca lagi wangi bakuan
kata-kata yang sengaja terangkai berlembar-lembar. Dalam proses'nya,' aku
diingatkan dengan kata-kata lugu seorang penulis favoritku. Yang menggambarkan
tiap-tiap detail tokohnya seperti sedang membuat detail karakter dipermainan the
sims. Aku juga selalu diingatkan dengan sehalus makian sastra yang kental
tentang Indonesia yang orang bilang ini negara kacau dan pecah belah. Hahahaha
dasar otak udang! Masih ditanah Indonesia kok maki-maki Indonesia? Dengan
dengung, kadang aku menangisi malangnya hukum yang digembar-gemborkan. Mau jadi
acuan, kok malah kalah sama kertas? Dia cuma kertas yang bernominalkan!!
Ah..tapi mau dibuat gelisah, kadang membicarakan lumpuhnya hukum, tak lagi
menarik karena topik ini justru malah lebih sering dibicarakan sampai lemas,
tanpa lagi memikirkan bagaimana mengatasinya. Dan.. aku tak lagi menulis
tentang Indonesia dalam prosesku.
Kadang, menurutku, lebih jelas apabila aku
menulis berlembar masalah sepasang kekasih yang dimadu fana tiap harinya.
Sepasang bocah ber-rok abu-abu yang mengapit rindu dikala ruang menghampar
jelas. Hahaha, konyol! Kadang aku fkir, rindu itu tak bisa dihitung dengan
rumus yang bisa diketahui banyaknya, ditambah penjelas satuan menguntit
dibelakangnya. Atau bisa dihitung dengan atom-atom-atom tolol dieksak yang
membuat aku masuk kelas sosial dan membuat aku, harus merubah lagi mimpi-mimpi
yang dengan mudahnya terlepas atasnama sosial. Bodoh! Selain Indonesia, ini
juga alasan bagus untuk aku menangis tiap aku mengingatnya. Mereka fikir, tiap-tiap
kepala yang masuk eksak, jelas-jelas atas kemampuan mereka? Demi Tuhan, tidak!
Tidak sama sekali. Dan dengan gobloknya, lintas jurusan itu diperbolehkan.
Pantas saja guru eksak selalu menghipnotis siswanya bahwa mereka JAUH LEBIH
UNGGUL dibanding kelas sosial. Pantas saja tiap orang bodoh diluar sana
bertanya aku masuk jurusan apa, dan aku jawab dengan jawaban yang sebenarnya,
mereka terlihat seperti menaikkan alis tanpa lagi menengok kearahku.
Apa lagi yang perlu dibenahi diprosesku? Semua
cerita terlihat menarik dan patut ditertawakan karena ketololannya. Hukum,
Negara, Sepasang kekasih yang tiap detiknya dilumat kata rindu, sampai tentang
pendidikan, semuanya patut digoresan dalam prosesku. Yah....lihat nanti. Kalau
saja hukum saja masih miris, kalau hukum saja masih layak dimaki, bolehkan aku,
penonton drama yang lebih mirip banyolan ini ikutan memaki prosesku yang goblok
dan jauh dari rasa bangga? HAHAHAHAA